Fiksi Iklim: Darurat Iklim dalam Karya Fiksi

Dalam era ketidakpastian perubahan iklim, penulis kreatif memainkan peran penting dalam menyuarakan isu lingkungan melalui genre fiksi iklim, atau cli-fi. Karya-karya ini menciptakan naratif yang tidak hanya menghibur tetapi juga merangsang pemikiran tentang masa depan di bawah tekanan perubahan iklim.

Istilah "fiksi iklim" atau "cli-fi" merujuk pada karya sastra genre fiksi yang mengeksplorasi isu perubahan iklim dan dampaknya terhadap lingkungan. Genre cli-fi ini mencakup tema seperti kenaikan suhu global, bencana alam, migrasi massal, dan tantangan sosial, politik, serta ekonomi.

Tujuannya bisa beragam, termasuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu lingkungan. Juga merangsang tindakan untuk mengatasi perubahan iklim, atau memberikan perspektif yang mendalam terhadap kemungkinan masa depan yang mungkin kita hadapi.

Orang yang dianggap sebagai pencetus nama climate fiction (cli-fi) adalah Dan Bloom. Seorang publisis dan mantan jurnalis yang pernah menamatkan studi Sastra Eropa Postmodern di Tufts University, Boston. Bloom sendiri tidak menulis novel, tetapi menggaungkan fiksi iklim lewat blog serta media sosialnya.

Amanda Jones dalam "Climate Fiction" mencoba menguraikan beberapa karya sastra pada masa lampau yang sudah menyertakan topik perubahan iklim. Seperti puisi "Darkness" oleh Lord Byron pada 1816 yang berbau apokalips. Juga novel The Purchase of the North Pale (1889) karangan Jules Verne yang memuat penyalahgunaan sains. Serta The American Claimant (1892) gubahan Mark Twain yang membicarakan iklim.

Contoh lain yang menarik dalam genre ini adalah novel "The Water Will Come" karya Jeff Goodell. Melalui prosa yang kuat, Goodell membawa kita melintasi kota-kota yang terancam oleh kenaikan permukaan air laut. Ceritanya menggambarkan masa depan di mana prediksi ilmiah menjadi kenyataan. Dan para tokohnya dihadapkan pada tantangan bertahan hidup di tengah krisis iklim.

Fiksi Iklim dan Kesadaran Publik

Fiksi iklim tidak hanya sekedar menyajikan kisah-kisah apokaliptik, tetapi juga menggali dampak sosial, politik, dan ekonomi dari perubahan iklim. Dalam novel "The Windup Girl" karya Paolo Bacigalupi, pembaca dihadapkan pada dunia di mana energi fosil telah habis. Dan manusia bergantung pada teknologi canggih dan rekayasa genetika untuk bertahan hidup. Karya ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang harga yang harus dibayar oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya.

Sebagai pembaca, kita juga dapat memahami peran fiksi iklim dalam membangun kesadaran publik. Karya seperti "The Year of the Flood" karya Margaret Atwood menggambarkan ekosistem yang hancur dan kehidupan liar yang terancam punah. Melalui narasi ini, pembaca diundang untuk merenungkan dampak kebijakan manusia terhadap alam dan ekosistem yang lebih besar.

Namun, fiksi iklim tidak hanya menciptakan gambaran buram tentang masa depan. Beberapa karya juga menawarkan solusi dan inspirasi untuk menghadapi tantangan lingkungan. "Green Earth" karya Kim Stanley Robinson, misalnya, memperkenalkan pembaca pada dunia di mana manusia berusaha untuk merestorasi ekosistem yang telah rusak.

Dalam perjalanan mengeksplorasi fiksi iklim, kita menyadari bahwa karya-karya ini tidak hanya menghibur tetapi juga berfungsi sebagai cermin untuk melihat realitas dan refleksi tentang tindakan yang dapat diambil untuk merawat bumi. Fiksi iklim, dengan segala kekuatannya, mengajak kita untuk berpikir lebih dalam tentang bagaimana kita dapat menjadi bagian dari solusi dalam mengatasi perubahan iklim yang terus berlangsung.