Cerita Batik Gajah Oling


Hari ini aku berdiri di depan selembar kain panjang berwarna hitam legam, dihiasi motif putih menyerupai gading melengkung. Pola itu bukan sekadar gambar. Ia punya nama, punya makna, punya napas yang berasal dari tanah kelahiranku: Batik Gajah Oling, warisan budaya khas Banyuwangi yang mendalam, filosofis, dan sangat memikat.

Aku lahir dan besar di Banyuwangi. Tapi seperti kebanyakan anak muda di kota ini, dulu aku tak begitu peduli dengan batik. Rasanya kuno, hanya dipakai orang tua saat kondangan atau acara resmi. Tapi semua berubah saat aku mulai menggali cerita di balik motif batik ini.

Filosofi Gajah Oling

Konon, motif ini sudah ada sejak zaman kolonial. Nama “Gajah Oling” berasal dari dua kata: gajah dan oling (dalam bahasa Osing berarti “ingat” atau “kesadaran”). Motif ini menggambarkan seekor gajah dengan belalai meliuk seperti tanda tanya besar. Dalam bukunya Batik Banyuwangi (2007), Azhar Prasetyo menjelaskan bahwa makna motif Gajah Oling mencerminkan karakter masyarakat Banyuwangi yang dikenal religius. Motif ini mengingatkan agar manusia senantiasa ingat pada Tuhan dan tidak sombong seperti gajah yang besar tubuhnya, namun tetap tunduk kepada yang Maha Kuasa.

Berdasarkan Ensiklopedi Banyuwangi, motif Gajah Oling muncul dari semangat heroik masyarakat Blambangan—leluhur Banyuwangi—yang menolak tunduk pada kekuasaan Mataram maupun Bali. Itulah sebabnya, motif ini memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dari batik Yogyakarta, Solo (bekas wilayah Mataram), maupun Bali.

Budayawan Banyuwangi, Aekanu Hariyono, menafsirkan motif Gajah Oling sebagai simbol perjalanan hidup manusia, mirip dengan filosofi Cokro Manggilingan yang berputar berlawanan arah jarum jam. Ia menambahkan, ornamen khas Gajah Oling sering kali disertai dengan motif bunga kelapa—yang merepresentasikan makna bahwa setiap bagian dari kelapa memiliki manfaat bagi kehidupan, sebagaimana manusia diharapkan dapat memberi manfaat dalam segala aspek.

Sebagai Identitas Budaya Banyuwangi

Batik ini dulu hanya dikenakan oleh kalangan tertentu dalam upacara adat. Tapi kini, ia menjadi identitas budaya Banyuwangi. Bahkan Pemkab Banyuwangi telah mendaftarkan Gajah Oling sebagai motif batik khas daerah melalui Kementerian Hukum dan HAM sejak 2009 [sumber: https://jdih.kemenkumham.go.id].

Ada keunikan lain dari batik ini. Jika biasanya batik ditorehkan pada kain putih, maka batik Gajah Oling justru banyak menggunakan kain hitam atau gelap sebagai dasar, kemudian motif putih ditambahkan di atasnya. Nuansa kontras ini menghadirkan kesan elegan sekaligus sakral.

Pemerintah Banyuwangi sendiri kini mendorong penggunaan batik Gajah Oling di berbagai kesempatan. Setiap hari Kamis, pegawai negeri dan pelajar diminta memakai batik motif Gajah Oling sebagai seragam. Di acara-acara resmi, mulai dari Festival Gandrung Sewu sampai Jazz Gunung Ijen, motif ini selalu tampil menawan. Bahkan pada 2019, batik ini dikenakan oleh duta besar Indonesia dalam acara diplomasi budaya di Berlin, Jerman.

Lebih dari sekadar kain, batik ini telah menjadi wajah diplomasi budaya Banyuwangi. Ia tampil tak hanya di tubuh manusia, tapi juga dalam desain interior hotel, mural kota, hingga logo-branding UMKM lokal.

Namun, di balik popularitasnya, ada tantangan besar. Banyak motif Gajah Oling yang kini dibuat dengan teknik printing demi efisiensi produksi. Harganya murah, tapi kehilangan sentuhan tangan, kehilangan cerita. Karena itu, para pembatik tradisional butuh dukungan—agar narasi dan nilai yang terkandung dalam setiap motif tidak hilang begitu saja.

Menulis ini, aku jadi sadar. Kadang kita harus kembali ke akar untuk tahu betapa kuat fondasi budaya kita. Semua itu mengajarkan kita untuk rendah hati, ingat asal-usul, dan tetap tegak berdiri di tengah zaman yang berubah cepat. Dan kini, setiap kali aku pakai batik, rasanya seperti mengenakan sejarah di tubuhku. Selembar kain yang membawa pesan dari leluhur.

Referensi: